Krisis Finansial di AS dan Eropa
Krisis subprime mortgage mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan pasar. Dengan kepercayaan pasar yang menurun menyebabkan para investor ramai-ramai menarik uangnya dari bursa. Perilaku yang seperti ini sering disebut dengan risk aversion, dan hal ini pula yang menyebabkan keringnya likuiditas dalam pasar ekonomi AS. Keringnya likuiditas itulah yang berkontribusi pada macetnya perekonomian di AS. Instabilitas finansial yang terjadi di Amerika Serikat, sebagai pusat perekonomian dunia dimana banyak negara bergantung, mengakibatkan terjadinya instabilitas finansial global. Instabilitas finansial global mengakibatkan terjadinya krisis finansial global yang ditandai dengan keringnya likuiditas dan menurunnya kepercayaan investor terhadap pasar. Padahal yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi global adalah investasi para investor.
Untuk menanggulangi krisis financial yang terjadi di AS, ada beberapa respons yang dilakukan oleh Pemerintah AS dan The Fed selaku bank sentral AS. Kalau kita melihat permasalahan utama yang terjadi sebenarnya adalah kekeringan likuiditas, maka sudah alamiah respons yang paling masuk akal dilakukan oleh mereka adalah dengan memberikan suntikan modal atau yang biasa kita kenal dengan bailout. Ketika pasar sudah mulai bergerak kembali (mendapatkan stimulus dari bailout) maka diharapkan investor kembali berinvestasi di pasar mereka. Itu fokus respons yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah AS. Tetapi untuk lebih jelasnya mari kita lihat bersama bentuk-bentuk implementasi kebijakan dari AS. Pemerintah AS dan The Fed membagi menjadi dua periode penanganan krisis tersebut, yakni Sebelum September 2008 dan Setelah September 2008. Menurut penulis respons pada sebelum September 2008 lebih cenderung ke respons kebijakan yang bersifat moneter dan setelah September 2008 lebih mengarah ke Kebijakan Fiskal. Berikut isi respons dan kebijakannya :
1. Respons Kebijakan Sebelum September 2008
- The Fed secara bertahap menurunkan tingkat suku bunga dan secara bersamaan meningkatkan jumlah likuiditas yang ada di pasar.
- Mengambil alih Bank Investasi Bear Sterns untuk menghindari dampak sistemik.
- Menciptakan peraturan-peraturan yang bisa menanggulangi mortgage foreclosure dan menstimulus permintaan pasar.
2. Respons Kebijakan Pasca September 2008
Dalam periode ini pemerintah AS memproduksi dua peraturan yakni The Emergency Economic Stabilization Act dan American Recovery and Reinvestment Act.
Investasi pada era globalisasi saat ini sudah tidak lagi mengenal batas negara. Hal ini disebabkan oleh liberalisasi yang sudah semakin berkembang pada sektor finansial melalui bursa saham maupun perusahaan, sehingga uang dapat menyebar kemana saja melewati batas-batas negara. Permasalahan dari liberalisasi finansial ini salah satunya adalah pada sisi investor. Informasi yang semakin cepat didengar menciptakan investor dapat memiliki informasi sebagai pandangannya dalam menentukan kebijakan investasinya. Investor yang profit oriented tentu saja tidak ingin modal yang dia investasikan hilang begitu saja, secara alamiah investor mempunyai perilaku animal instinct untuk menghindari resiko sekecil apapun yang menyebabkannya rugi. Karena perekonomian dunia yang terintegrasi, dimana perusahaan-perusahaan melakukan investasi melampaui batas negara. Seperti Lehman Brothers, lembaga finansial ini memiliki induk perusahaan di AS, namun juga memiliki beberapa anak cabang di Eropa dalam rangka memperluas investasi. Sehingga ketika terdapat anak cabang bangkrut akan berpengaruh ke anak-anak cabang perusahaan lainnya. Investasi pada perusahaan-perusahaan multinasional yang tersebar di banyak negara inilah yang menyebabkan krisis berdampak sistemik melalui integrasi ekonomi dimana uang yang beredar tidak mengenal batas negara. Efek domino yang ditimbulkan dari integrasi ekonomi antar negara melalui perusahaan-perusahaan multinasional terlihat pada keringnya likuiditas dan kebangkrutan beberapa lembaga-lembaga keuangan besar di beberapa negara karena keengganan investor untuk berinvestasi akibat ketidakstabilan perekonomian yang disebabkan oleh krisis.
Di beberapa negara Eropa, beberapa perusahaan ikut terkena imbas krisis subrime mortgage karena investasi yang dilakukan di AS. Negara-negara Eropa yang terkena dampak krisis subprime mortgage ini yang terparah adalah negara-negara PIIIGS (Portugal, Ireland, Iceland, Italy, Greece and Spain). Krisis financial AS seakan menjadi pemicu meletusnya gelembung-gelembung ekonomi di negara tersebut. Salah satu negara yang terkena dampak krisis subrime mortgage cukup parah di kawasan Eropa adalah Islandia karena pertumbuhan ekonomi yang digapai selama ini disokong oleh utang luar negeri perbankan swasta yang sangat besar dan diperparah dengan mata uang krona yang terdepresiasi. Berdasarkan laporan IMF, sebelumya Islandia berada di tingkat ke-4 negara termakmur dengan GNP per kapita sekitar 60.000 dollar AS. Setelah krisis, mata uang Islandia, krona, terdepresiasi hingga 30 persen. Sementara itu bank sentral Islandia tidak mampu menjamin simpanan masyarakat disebabkan utang luar negeri perbankan swasta yang besarnya 11 kali lipat dari PDB negara itu. Untuk mengatasi dampak krisis keuangan global, Pemerintah Islandia menasionalisasi Bank Glitnir yang bangkrut. Dalam menstabilkan nilai tukar mata uang Krona yang diperdagangkan hingga 202 krona per 1 euro, pemerintah mematok kurs Krona Islandia setara dengan 131 Krona per 1 euro. Setelah otoritas moneter Islandia tidak mampu lagi menjamin aset-aset bank, Rusia memberikan suntikan dana 37 miliar dollar AS ke bank-bank besar Islandia, demikian juga Swedia ikut turun tangan memberikan suntikan dana sebesar 702 juta dollar AS.
Tetapi bukan hanya negara-negara PIIIGS saja yang terkena dampak bahkan negara-negara besar seperti Jerman, Inggris dan Perancis sekalipun terdampak Krisis Finansial AS. Sebagai contoh, Sachsen Landesbank di Jerman pun bangkrut karena ikut berinvestasi pada sektor perumahan di AS. Kemudian, Lembaga Keuangan Jerman (IKB) mengakui investasi di subrime mortgage hilang hingga USD 1 miliar. Langkah-langkah penyelamatan pun dilakukan oleh Jerman yang mengucurkan 68 miliar dollar AS untuk menopang Hypo Real Estate (perusahaan di sektor properti Jerman). Stimulus ini dilakukan oleh pemerintah agar tidak berdampak sistemik terhadap sektor-sektor lainnya di Jerman. Inggris juga merupakan negara di kawasan Eropa yang terkena kekeringan likuiditas akibat krisis subrime mortgage. Pada 2007, Inggris menasionalisasi Northern Rock karena perusahaan tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan apabila tidak diselamatkan oleh pemerintah maka dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap perekonomian Inggris. Oleh karena itu Inggris menyiapkan dana talangan sebesar 50 miliar poundsterling, yang setara engan 87 miliar dollar AS pada saat itu. Stimulus dari pemerintah ini dilakukan agar karena Nothern Rock merupakan salah satu perusahaan besar yang menyokong perekonomian Inggris, dan apabila tidak diselamatkan oleh pemerintah maka dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap perekonomian Inggris.
Selain Jerman dan Inggris, krisis subrime mortgage juga berimbas terhadap negara-negara di kawasan Eropa yang lain seperti di Prancis, Belgia dan Luksemburg. Perancis melakukan langkah penyelamatan terhadap lembaga finansial Dexia, yang mengintegrasikan perekonomian ketiganya. Pada akhir September 2007, pemerintah Prancis, Belgia dan Luksemburg bergotong royong menyelamatkan lembaga financial Dexia, yang apabila tidak diselamatkan dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap gejolak perekonomian pada ketiga negara tersebut.
Dari kronologis di atas terlihat kondisi perekonomian global yang secara serentak mengalami penurunan kinerja ekonomi hingga mengakibatkan beberapa perusahaan bangkrut dan harus diselamatkan oleh negara. Terjadinya kekeringan likuiditas tersebut adalah akibat keengganan investor untuk menanamkan uangnya pada kondisi perekonomian yang tidak stabil. Terdapat satu kesamaan di antara negara-negara yang terkena krisis, yaitu negara harus ikut campur tangan dalam menangani krisis. Sebagaimana telah digambarkan di atas, negara-negara yang terkena dampak krisis subrime mortgage pun melakukan intervensi pasar agar krisis tidak meluas dan perekonomian dapat berjalan stabil dengan memberikan stimulus.
Referensi :
Bank Indonesia, Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia dalam “Outlook Perekonomian Indonesia 2009-2014, Eds. Januari 2009.
EFA and EC, Economic Crisis in Europe: Causes, Consequences and Responses dalam “European Economy 7”, 2009.
Marshall, John. The Financial Crisis In The US: Key Events, Causes And Responses dalam Research Paper 09/34, 2009: Library House of Commons
Taufiqurrahman, Peran Negara Dalam Mekanisme Pasar : Indonesia di Tengah Krisis Finansial Global 2008, Skripsi: 2010, Universitas Jember.
Astropolitik: Kekuatan Ruang Angkasa China
Keyakinan bahwa dalam hubungan internasional negara-negara di dunia ini berada di dalam keadaan yang konfliktual, adanya anarki, bahkan sisi-sisi buruk dari manusia bisa diekspresikan dengan cara apapun. Hal ini menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri menjadi background utama suatu negara terus memperkuat aspek pertahanan dan keamanan dalam negerinya. Mearsheimer’s dalam tulisannya The Tragedy of Great Power Politics, berargumen bahwa :
….states face an uncertain international environment in which any state might use its power to harm another.
Helga Hafterdorn (1991) dalam tulisannya The Security Puzzle menyebutkan bahwa konsep keamanan nasional (National security) merupakan sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu negara untuk melindungi dirinya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan eksternalnya (the absence of military threat or with the protection of the nation from external overthrow or attack). Kendati pun tingkat ancaman sulit untuk dikuantifikasi atau diukur, secara sederhana keterkaitan antara tingkat keamanan, ancaman dan kemampuan untuk mengatasi ancaman dapat dirumuskan sebagai berikut:
Overall Security (OS) = Overall Capability (Oc) - Overall Threat (Ot)
Dalam rumusan di atas bahwa keamanan nasional suatu negara dapat dilihat bahwa melalui seberapa besar ancaman yang diterima dibanding dengan tingkat kemampuan untuk mengatasi ancaman tersebut. Dengan dasar keamanan nasional itu juga lah akhirnya dapat disimpulkan bahwa salah satu instrumen untuk melindungi dan mempertahankan keamanan nasional adalah dengan meningkatkan kapabilitas dalam military power.
Signifikansi dan Perkembangan Teknologi Ruang Angkasa China
Space will undoubtedly be a center of gravity in any future war
Jeffrey R. Barnett
Pernyataan Jeffrey R. Barnett di atas cukup menjadi alasan mengapa negara- negara akhirnya berlomba-lomba melakukan eksplorasi terhadap ruang angkasa, termasuk juga China. Karena memang ruang angkasa tidak dapat diragukan lagi akan menjadi pusat gravitasi dari berbagai macam perang di masa depan. Mari kita lihat bersama tentang medan pertempuran saat ini dan kemungkinan medan pertempuran masa depan pada gambar di bawah ini.
Penguasaan terhadap ruang angkasa tidak hanya memberikan jaminan jangka panjang seperti kontrol terhadap luar angkasa, tapi juga menyediakan fungsi jangka pendek seperti keuntungan dalam medan perang seperti peringatan dini dan deteksi misil, radar, penentuan target dan analisis terhadap medan perang. Hampir semua industri militer modern dari suatu negara telah menyadari akan pentingnya kekuatan militer ruang angkasa sebagai bagian penting dari keamanan nasional. Dengan semakin pentingnya teknologi ruang angkasa dalam medan perang modern maka tentu saja penguasaan terhadap ruang angkasa semakin dianggap vital.
“Space power improves battlefield awareness capabilities, strengthens joint operations systems, improves precision strike capabilities, and increasingly strengthens overall battlefield superiority. Integrated joint operations increasingly rely on space power and space is the high point of informationized warfare.” (disebutkan dalam Kevin Polpetter 2008).
Penguasaan terhadap ruang angkasa merupakan hal yang vital dalam menghadapi semua medan pertempuran. Dalam bukunya “The Art of War” Sun Tzu mengemukakan ”Take the High ground and Hold it !” (disebutkan dalam Lt.Col. Mark E.Harter, "Ten Propositions Regarding Space Power"). Pernyataan ini dapat diartikan bahwa faktor geografis yang strategis, sangat menentukan kemenangan dalam sebuah peperangan. Jika dianalogikan dengan peperangan konvensional, maka pernyataan ini berarti negara/kelompok yang menguasai dataran tinggi adalah yang lebih punya kesempatan menang. Logikanya, dengan menguasai dataran/ruang yang lebih tinggi maka suatu kelompok tersebut akan lebih mudah untuk menyerang maupun bertahan. Dengan analogi tersebut di atas maka asumsinya adalah keberadaan ruang angkasa dengan segala kelebihannya seperti jangkauan pemantauan yang sangat luas, tingkat teknologi yang sulit disamai oleh negara lain merupakan faktor strategis, signifikan dan sangat menentukan bagi sebuah negara dalam proses peningkatan kemampuan militernya. Pernyataan-pernyataan di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa terdapat sebuah kenyataan baru dimana sebelumnya ruang angkasa digunakan untuk kepentingan-kepentingan sipil yang sifatnya riset dan damai, sekarang juga digunakan sebagai instrumen power dan militer.
China sebagai negara yang berkembang sangat pesat akhir-akhir ini juga menyadari betul akan pentingnya pengembangan program antariksanya secara massif. Banyak pengamat yang masih meragukan kemampuan China apakah China mampu menjadi kekuatan besar yang juga sebagai negara yang menguasai ruang angkasa. Tentu saja pertanyaan seperti itu sudah menjadi semakin jarang untuk ditanyakan, seiring perkembangan China yang semakin massif dalam semua aspek. Dan tentu saja kesimpulannya China sebagai negara yang sangat pantas diperhitungkan. Hal ini bisa ditinjau bahwa proyek pengembangan eksplorasi ruang angkasa tentu saja membutuhkan dana yang sangat besar. Peningkatan teknologi luar angkasa oleh suatu negara tentunya menimbulkan berbagai macam kekhawatiran bagi negara lain. Amerika Serikat yang mengembangkan teknologi ruang angkasanya secara massif, tentu saja menjadi ancaman dan menimbulkan kekhawatiran bagi negara lain, termasuk China yang saat ini terus berkembang dan diprediksi menjadi penantang Amerika Serikat.
“The latest U.S. National Space Policy (NSP) poses a serious threat to the national security of China. This new policy, released in October of 2006, sets out the George W. Bush administration’s vision for defending America’s security in space. It reinforces a unilateral U.S. approach to space security which is compounded by the U.S. opposition to any international treaties that limit its access to or use of space. Aggregately, Bush’s space policy pursues hegemony in space and poses a significant security risk to China that cannot be left unaddressed. The NSP presents a number of challenges to China’s security environment.“ (disebutkan dalam Bao Shixiu 2007).
China juga membangun dan melakukan uji coba terhadap ASATs (Anti Satelitte Weapons). Uji coba tersebut menunjukkan kenyataan bahwa China adalah salah satu aktor paling progresif pada era ini dalam melakukan eksplorasi ruang angkasa. Hal ini dilakukan China sebagai sarana dalam strategi deterrence untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan serangan Amerika Serikat Bahkan pada tahun 2000, seorang analis pertahanan China Wang Hucheng menyatakan bahwa:
“Untuk negara-negara yang tidak pernah memenangkan kompetisi (perang) dengan Amerika Serikat dengan menggunakan tank dan pesawat, menyerang sistem persenjataan ruang angkasa Amerika Serikat adalah yang pilihan yang paling memungkinkan.” (disebutkan dalam Theresa Hitchens 2003).
Menulis Referensi: Chicago Manual Style
The Chicago Manual of Style merupakan format yang umum digunakan penulis untuk melakukan kutipan juga digunakan dalam penulisan catatan kaki dan juga daftar pustaka. Berikut tata cara kutipan yang berlaku dalam Chicago Manual of Style:
CITATION atau KUTIPAN
Kutipan langsung dan atau kutipan tidak langsung berdampak pada cara memasukkannya di dalam teks. Kedua macam kutipan tersebut mempunyaiperbedaan dalam cara mencetak kutipan yang bersangkutan.
1. Kutipan langsung yang tidak lebih dari empat baris
Kutipan langsung yang panjangnya (setelah dikutip) tidak lebih dari empat baris dimasukkan dalam teks. Adapun tertibnya ialah sebagai berikut:
a) Bagian yang merupakan kutipan diapit dengan tanda kutip ;
b) Jarak antara satu baris dengan baris yang lain dua spasi (sama dengan baris-baris teks yang lainnya ;
c) Setelah tanda kutip akhir kutipan diberi nomor urut petunjuk kutipan setengah spasi keatas (Footnote)
d) Bila menggunakan nomor urut petunjuk, harus diikuti dengan pembuatan catatan kaki dibagian bawah halaman yang sama ;
e) Bila didalam kutipan terdapat kutipan lagi, kutipan yang kedua diapit dengan tanda kutip tungal (‘…..’)
2. Kutipan langsung yang lebih dari empat baris
Kutipan melebihi empat baris (setelah dikutip) ditulis terpisah dengan teks. Adapun tertibnya adalah sebagai berikut :
a) Kutipan dapat menggunakan tanda kutip dan dapat tidak;
b) Kutipan dibuat alinea baru dengan jarak 2.5 spasi dari alinea sebelumnya;
c) Jarak baris dengan baris kutipan 1 spasi;
d) Seluruh bagian kutipan ditulis menjorok ke dalam antara 5-7 ketukan, dan apabila kutipan ditulis dengan alinea baru baris pertama dari kiri kutipan ditulis masuk lagi 5-7 ketukan;
e) Sesudah kutipan diberi nomor petunjuk agar diangkat sedikit besar 0.5 spasi (Footnote);
f) Bila dalam kutipan terdapat kutipan lagi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (a) menggunakan tanda kutip tunggal (‘….’) untuk kutipan yang ada di dalam kutipan; dan (b) bila kutipan tidak menggunakan tanda kutip, kutipan yang ada didalam kutipan tersebut diapit denga kutip ganda.
3. Kutipan tidak langsung
Kutipan tidak langsung merupakan kutipan pendapat orang yang hanya mengambil sari pati ide. Kalimat‐kalimat dalam kutipan tidak langsung merupakan rumusan penulis. Adapun tertibnya adalah sebagai berikut:
a) Kutipan diintegrasikan ke dalam teks ;
b) Kutipan tidak diberi tanda kutip;
c) Tidak ada pembedaan spasi;
d) Sesudah kutipan diberi nomor petunjuk agar diangkat sedikit besar 0.5 spasi (Footnote).
CATATAN KAKI (FOOTNOTE)
1. Pengertian
Adapun yang dimaksud dengan catatan kaki adalah semua keterangan yang berkaitan dengan uraian (teks) yang ditulis dibagian bawah halaman yang sama. Apabila keterangan semacam itu disusun dibagian akhir keterangan biasanya disebut keterangan saja. Catatan kaki bukan semata‐mata dimaksudkan untuk menunjuk sumber kutipan, melainkan juga dipergunakan untuk memberikan keterangan tambahan terhadap uraian atau teks. Oleh karena itu, antara catatan kaki dengan teks sangat erat kaitannya. Kaitan antara teks dan catatan kaki ditandai dengan dipergunakannya nomor-nomor penuntun yang sama, atau ada juga yang menggunakan tanda‐tanda asterik (*) bila jumlah keterangannya tidak banyak. Bila dalam satu halaman atau bagian ada dua atau lebih yang perlu diberi keterangan, hal itu dapat dilakukan dengan menambah tanda asterik menjadi dua, tiga dan seterusnya.
2. Tata cara Membuat Catatan Kaki
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat catatan kaki yang menyangkut penomoran, penggunaan singkatan‐singkatan, dan penempatannya. Penomoran Catatan kaki diberi nomor sesuai dengan nomor pada kutipan. Nomor itu berurutan untuk setiap bab atau untuk setiap karangan. Bila penomoran hanya dilakukan untuk satu bab, berarti setiap awal bab dimulai dengan catatan nomor baru. Seperti pada kutipan, nomor pada catatan kaki diangkat setengah spasi diatas baris. Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang dikutip dengan menggunakan angka arab yang diketik naik setengah spasi. Catatan kaki ditulis sesuai dengan nomor dan didasarkan pada standar The Chicago Manual of Style. Catatan kaki pada setiap bab diberi nomor urut dari nomor 1 sampai habis, dan diganti nomor satu kembali pada bab yang baru. Nomor catatan kaki harus terletak pada halaman yang sesuai dengan nomor catatan kaki tersebut.
Contoh : pada halaman 2 terdapat kutipan yang bernomor catatan kaki nomor 1 dan nomor 2, maka pada halaman 2 itu juga catatan kaki diletakkan, tidak boleh di halaman 3 ataupun halaman lain. Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan mulai dari tujuh ketukan dari garis margin, dan untuk garis berikutnya langsung dimulai dari garis margin. Kalimat yang dikutip harus dituliskan sumbernya secara lengkap tersurat dalam catatan kaki.
3. Penulisan Catatan Kaki
1) Buku satu Penulis
1 Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 65.
2) Dua Penulis
7 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism (Massachusetts: Allyn and Bacon, 1993), 109 ‐ 114.
3) Empat atau lebih Penulis
15 Scott Burchill et.al., Theories of International Relations (New York: Palgrave, 2005), 262.
4) Editor, Penerjemah atau Pengkompilasi bukan Penulis
6 Richmond Lattimore, penerj., The Iliad of Homer (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 91–92.
5) Editor, Penerjemah atau Pengkompilasi sekaligus Penulis
2
Dale C. Copeland, Constructivism and International Relations: Alexander Wendt and His Critic, ed. Stefano Guzzini dan Anna Leander (London:
Routledge, 2006), 4.
6) Bab atau Bagian dari Buku
9
Andrew Wiese, “‘The House I Live In’: Race, Class, and African American Suburban Dreams in the Postwar United States,” dalam The New
Suburban History, ed. Kevin M. Kruse and Thomas J. Sugrue (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 101–2.
7) Kata Pengantar atau Pendahuluan dari sebuah Buku
11
Rieger, introduction to Frankenstein; or, The Modern Prometheus, by Mary Wollstonecraft Shelley (Chicago: University of Chicago Press, 1982), xx–
xxi.
8) Artikel Jurnal Artikel dalam Jurnal Cetak
23
John Maynard Smith, “The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.
Artikel dalam Jurnal Online Mark A. Hlatky et al., "Quality‐of‐Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy:
Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial," Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.amaassn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo.
9) Artikel Majalah Populer
17 Steve Martin, “Sports‐Interview Shocker,” New Yorker, May 6, 2002, 84.
10) Artikel dalam Surat Kabar
10 William S. Niederkorn, “A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery,” New York Times, June 20, 2002, Arts section, Midwest edition.
11) Review Buku
11 Gorman, “Endangered Species,” review of The Last American Man, by Elizabeth Gilbert, New York Times Book Review, June 2, 2002, 16.
12) Skripsi, Thesis atau Disertasi
43 M. Amundin, “Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Porpoise, Phocoena phocoena” (PhD diss., Stockholm University, 1991), 22–29, 35.
13) Paper yang dipresentasikan dalam suatu pertemuan, seminar atau konferensi
39 Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (paper dipresentasikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, June 19–22, 2002).
14) Sumber Elektronik dalam bentuk Website
44 Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/strategic‐plan‐00.html.
4. Penggunaan Singkatan dalam Kutipan
Untuk menghindari pengulangan sebutan, baik nama pengarang maupun judul buku, maka perlu digunakan singkatan‐singkatan itu adalah :
1) Ibid.
Dari ibidem yang berarti tempat sama, digunakan untuk menunjukan sumber yang sama (pengarang dan judul) dengan diatasnya. Singkatan Ibid
diikuti dengan halaman singkat hlm. Atau p. (page). Dan nomor halaman kutipan. Apabila catatan kaki diantaranya dengan dibawahnya yang
menggunakan singkatan Ibid. Berbeda halaman, ada baiknya bila sebelum singkatan Ibid. Dituliskan nama pengarangnya.
2) Loc. Cit.
Dari ioco citato yang berarti dalam tempat yang dikutip, digunakan untuk catatan kaki yang halamannya sama dengan sumber sebelumnya yang
telah diselingi dengan sumber lain. Semula singkatan loc.cit. digunakan untuk menunjukkan sumber yang berupa buku, tetapi harina, majalah, jurnal dan
lain‐lain.. Hal yang perlu diingat dalam penggunaan singkatan loc.cit ialah tidak diikuti dengan halaman beserta nomornya.
3) op. cit.
Dari opere citato yang berarti karya telah dikutip), digunakan untuk menunjuk sumber yang sama, tetapi halamannya berbeda dan telah diselingi
oleh sumber lain.
5. Daftar Pustaka
1. Tata Cara Membuat Daftar Pustaka
Daftar pustaka atau bibliografi adalah daftar buku atau sumber acuan lain yang mendasari atau menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan karangan. Penulisan daftar pustaka menggunakan standar yang sama dengan catatan kaki, yaitu The Chicago Manual of Style.
1) Buku Satu Penulis
Zehfuss, Maja. Constructivism in International Relations: The Politics of Reality. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
2) Dua Penulis
Viotti, Paul R., dan Mark V. Kauppi. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism. Massachusetts: Allyn and Bacon, 1993.
3) Empat atau lebih Penulis
Burchill, Scott, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus‐Smit dan Jacqui True. Theories of
International Relations. New York: Palgrave, 2005.
4) Editor, Penerjemah atau Pengkompilasi bukan Penulis
Lattimore, Richmond, penerj. The Iliad of Homer. Chicago: University of Chicago Press, 1951.
5) Editor, Penerjemah atau Pengkompilasi sekaligus Penulis
Copeland, Dale C. Constructivism and International Relations: Alexander Wendt and His Critic, edited by. Stefano Guzzini dan Anna Leander.
London: Routledge, 2006.
6) Bab atau Bagian dari Buku
Wiese, Andrew. “‘The House I Live In’: Race, Class, and African American Suburban Dreams in the Postwar United States.” In The New
Suburban History, edited by Kevin M. Kruse and Thomas J. Sugrue, 99–119. Chicago: University of Chicago Press, 2006.
7) Kata Pengantar atau Pendahuluan dari sebuah Buku
Rieger, James. Introduction to Frankenstein; or, The Modern Prometheus, by Mary Wollstonecraft Shelley, xi–xxxvii. Chicago: University of
Chicago Press, 1982.
8) Artikel Jurnal dalam Jurnal Cetak
Smith, John Maynard. “The Origin of Altruism.” Nature 393 (1998): 639–640.
9) Artikel dalam Jurnal Online
Hlatky, Mark A., Derek Boothroyd, Eric Vittinghoff, Penny Sharp, and Mary A. Whooley. "Quality‐of‐Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women
after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial." Journal of the American Medical Association
287, no. 5 (February 6, 2002),
http://jama.amaassn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo
.
10) Artikel Majalah Populer
Martin, Steve. “Sports‐Interview Shocker.” New Yorker, May 6, 2002.
11) Artikel dalam Surat Kabar
Niederkorn, William S. “A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery.” New York Times, June 20, 2002, Arts section, Midwest edition.
12) Review Buku
Gorman, James. “Endangered Species.” Review of The Last American Man, by Elizabeth Gilbert. New York Times Book Review, June 2, 2002.
13) Skripsi, Thesis atau Disertasi
Amundin, M. “Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Porpoise, Phocoena phocoena.” PhD diss.,
Stockholm University, 1991.
14) Paper yang dipresentasikan dalam suatu pertemuan, seminar atau konferensi
Doyle, Brian. “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59.” Paper presented at the annual international meeting for the Society of
Biblical Literature, Berlin, Germany, June 19–22, 2002.
15) Sumber Elektronik dalam bentuk Website
Evanston Public Library Board of Trustees. “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach.” Evanston Public
Library. http://www.epl.org/library/strategic‐plan‐00.html (accessed June 1, 2005).
2. Teknik Penyusunan Daftar Pustaka
Adapun teknik penyusunan daftar pustaka ialah sebagai berikut :
1) Daftar pustaka disusun secara alfabetis, baik vertikal maupun horizontal. Maksudnya, nama pengarang yang dimulai dengan huruf Aab diletakkan di atas nama yang dimulai dengan Aac, Aad, Aba, seterusnya.
2) Nama pengarang dibalikan, artinya nama panggilan, marga, nama keluarga, dikedepankan. Penggalan nama yang dibalikkan diantarai dengan
tanda koma.
3) Daftar nama sebagaimana dimaksud pada nomor (1) setelah dilakukan pembalikan.
4) Gelar akademik dan jabatan dapat dicantumkan dan diletakkan selelah nama keseluruhan. Batas nama dengan gelar diberi tanda koma.
5) Daftar pustaka ditulis dari margin kiri dan bila titik cukup ditulis dalam satu baris, maka baris kedua, ketiga dan seterusnya ditulis 5‐7 ketukan
kedalam dengan jarak 1 spasi.
6) Jarak antara sumber pustaka yang satu dengan daftar pustaka yang lain adalah 1 spasi.
7) Bila nama pengarang sama, maka penyebutan kedua, ketiga dan seterusnya cukup memberi garis panjang sepanjang 5‐7 ketukan dan diikuti
dengan unsur-unsur pustaka yang lain.
8) Bila dalam tahun yang sama diketahui seorang pengarang menyusun lebih dari satu buku, maka diberikan kode a, b, atau c dibelakang tahun
terbit.
9) Dalam daftar pustaka tidak perlu dicantumkan halaman (kutipan).
10) Daftar pustaka tidak diberi nomor urut.
11) Bila pengarang lebih dari satu orang, sumber pustaka berupa majalah, harian, atau karya yang belum diterbitkan, bunga rampai, dan sebagainya.
Berlaku seperti pada catatan kaki. Hanya dalam daftar pustaka tidak digunakan singkatan-singkatan lbid, oc. cit., dan loc. cit.
Post Fordism: The Real Golden Age of Capitalism
Karena agenda utama dari kapitalisme adalah pertukaran kapital secara alamiah, maka kapital dikelola sepenuhnya kepada mekanisme pasar, karena pasar lah yang paling mengerti titik keseimbangan dalam proses pertukaran tersebut. Kondisi inilah yang akhirnya sering kita sebut dengan equilibrium, yakni keseimbangan antara demand dan supply. Kemudian apa hubungannya dengan sistem fordisme? Untuk menjelaskan hubungannya maka kita akan bersama melihat tentang bagaimana sistem fordisme bekerja.
Masyarakat fordis percaya bahwa Mass production creates Mass Consumption atau mass consumption through mass production.[2] Hal inilah yang menjadi mekanisme utama Fordisme itu sendiri. Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi?. Logikanya, dengan memproduksi barang-barang secara massal tentu saja akan mengurangi biaya produksi. Bagaimana bisa? Mereka memperkenalkan apa yang disebut dengan teknik assembly line. Teknologi ini diterapkan Ford yang terinspirasi oleh konsep Taylor yakni “time and motion”, jadi dalam mekanisme ini pekerja bisa melakukan kerja mereka dengan seefektif dan seefisien mungkin karena mereka tidak mengerjakan keseluruhan produksi, tapi memproduksi sebagian untuk keseluruhan (spesialisasi). Spesialisasi kerja inilah yang membuat kegiatan produksi makin efisien. Dengan teknik ini juga, proses produksi tidak perlu menggunakan banyak tenaga ahli, karena pekerja semi-skill pun akan bisa mengoperasikannya. Hal inilah yang disebut oleh Reinhardt sebagai Fordism as an Industrial Paradigm.[3] Dengan menurunnya jumlah ahli yang dipekerjakan tentu saja akan mengurangi pos pembiayaan pada proses produksi khususnya upah pekerja. Semakin efisien kegiatan produksi akan berimbas pada semakin berkurangnya biaya produksi. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat selling price product juga dapat ditekan, dengan harga produk yang relatif lebih murah maka daya beli masyarakat terhadap produk tersebut pun meningkat, karena hal itulah maka mass consumption pun dapat tercapai. Dengan adanya mass consumption, maka proses industrialisasi pun bisa berjalan lancar dan kapitalisasi pun berlanjut.[4] Logika berjalannya kapital dengan proses industrial yang seperti ini sebenarnya disebut Taylorism.[5]
Jika kita kaji lebih jauh, dalam sistem Fordisme peran negara sangatlah dominan. Hal inilah yang menjadi pembeda antara Taylorisme dan Fordisme. Fordisme merasa tidak cukup untuk berada pada level industrial paradigm dan regime of accumulation saja, tetapi mereka juga menyentuh pada mode of regulation dan mode of societalization. Fordisme menekankan peran penting negara sebagai alat untuk mengendalikan pasar. Negara pun akhirnya turut mengintervensi aspek-aspek mendasar seperti: sistem pengupahan, kebijakan pasar tenaga kerja dan memberikan bimbingan dalam aggregat permintaan, yang pada akhirnya membantu terjadinya keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Secara makroekonomi negara Fordisme berperan untuk menjaga agar tidak terjadi fluktuasi ekonomi yang tajam dan memastikan agar terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Untuk memastikan pertumbuhan yang stabil tersebut negara memberikan subsidi terhadap infrastuktur perekonomian misalnya, pembangunan jalan-jalan atau penyediaan sistem pendidikan yang menunjang keberadaan industri. Ketiga level sebelumnya memproduksi level keempat yakni mode of societalization atau membentuk aktor-aktor yang konsumtif dalam masyarakat yakni kelas menengah. Dengan begitu proses produksi akan mendapat jaminan berupa konsumsi dari masyarakat.
Ketika kita melihat sistem Fordisme yang seperti di atas maka saya melihat bahwa sebenarnya Fordisme tak layak untuk dilabeli sebagai “Golden Age of Capitalism”. Ada beberapa hal yang menjadi landasan berfikir untuk mengungkap hal itu. Pertama, seperti halnya kritik yang sering muncul adalah bahwa fordisme menciptakan kejenuhan pasar karena didalam pasar beredar produk yang relatif homogen. Logikanya kebutuhan konsumen sesungguhnya tak tercukupi, karena konsumen hanya punya pilihan yang relatif sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kedua, Intervensi negara yang berlebihan mengingkari hakikat kapitalisme itu sendiri yakni interaksi alamiah antara demand dan supply melalui mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi negara, maka proses demand dan supply pun tak berlangsung alamiah. Sistem perekonomian fordisme dianggap terlalu kaku dan tidak memacu terjadinya akumulasi dan akhirnya digantikan oleh Sistem Post Fordisme. Penulis berkeyakinan bahwa pada Sistem post fordisme inilah label “Golden Age of Capitalism” harusnya diberikan. Dan tentunya untuk melihat argumentasi itu kita harus melihat bagaimana sistem post fordisme bekerja.
Untuk memahami bagaimana sistem post fordisme bekerja kita akan mengacu pada kata “Flexibility” atau kelenturan. Hal yang berubah secara fundamental dalam post-fordis adalah kegiatan perekonomian lebih ditentukan oleh dorongan-permintaan (demand-driven) daripada dorongan-penawaran (supply-driven). Kompetisi dalam kegiatan ekonomi akan lebih banyak berkutat di faktor-faktor non-harga seperti perbaikan kualitas dan tampilan untuk sebuah produk individual dan sangat responsif pada konsumen. Lantas apa yang terjadi ketika proses perekonomian mengalami pergeseran orientasi yang cukup diametral yakni dari produk menuju ke konsumen. Pergeseran ini memunculkan implikasi yang besar terhadap pasar itu sendiri, pasar berubah dari membanjirnya produk yang homogen menjadi sangat heterogen untuk memenuhi pilihan konsumen. Karena pilihan konsumen pun sangat bervariasi, maka produsen pun berlomba-lomba untuk memenuhi kepuasan mereka untuk mencapai tujuan mereka yakni profit. Untuk itulah produsen saat ini bukan hanya dituntut untuk memproduksi suatu produk material, tetapi juga dituntut untuk memproduksi relasi sosial terhadap konsumennya.
“Post fordism has come to be associated with some of the structural changes to the organization of production, in particular, its social relations”. [6]
Dalam sistem Post Fordisme ini proses perekonomian berkembang pesat, salah satunya adalah meluasnya definisi kerja. Kerja seringkali didefinisikan sangat material yakni memproduksi sesuatu untuk memenuhi keperluan akan sesuatu. Namun munculnya sistem post fordisme yang lebih berorientasi pada demand mengharuskan produsen berkompetisi dengan produsen lain tidak hanya pada produk material, tetapi juga pada produk immaterial. Salah satu contoh produk immaterial adalah relasi sosial antara produsen dan konsumen. Produsen berlomba-lomba membentuk relasi sosial dengan konsumen mereka. Hal ini bisa dilihat dengan menjamurnya produk iklan dimana-mana dengan bentuk yang beraneka rupa, di televisi, radio, di jalan raya dsb. terpampang berbagai aneka ragam iklan. Iklan pun akhirnya dikategorikan sebagai produk immaterial.
Iklan, sebagai produk kerja imaterial, merupakan penciptaan relasi sosial yang diperlukan untuk memasarkan produk-produk mereka, iklan saat ini pun telah menjadi ujung tombak kesinambungan ekstraksi nilai-lebih melalui produksi.[7] Jika dilihat dari serangkaian pernyataan di atas maka penulis makin meyakinkan diri bahwa relasi sosial menjadi hal yang vital bagi keberlanjutan eksistensi kapitalisme? Jika iya, maka bukankah akan lebih penting bagi kapitalisme untuk terus memproduksi dan mereproduksi kondisi eksistensinya (conditions of existence) ini?. Bahkan kerja immaterial ini selain akan menghasilkan relasi emosional, kerja intelektual akan menghasilkan jejaring pengetahuan dan bahkan komunitas epistemik.[8] Tentu saja kita pernah atau bahkan sering melihat segerombolan komunitas pecinta produk tertentu nongkrong di pinggir jalan, di café dsb.. Misalnya, Komunitas Pecinta Vespa, Komunitas Pecinta VW, Komunitas Pecinta Honda, Toyota dst. Hal ini menunjukkan bahwa kerja afektif dari produsen sukses membentuk relasi sosial emosional dengan ikatan yang kuat pada konsumennya. Hal inilah yang akhirnya makin menegaskan bahwa relasi sosial tak akan pernah lepas dan begitu vital bagi naik atau turunnya permintaan (demand). Dengan naiknya demand maka produsen akan mengimbanginya dengan meningkatkan produksi untuk memenuhi supply. Hal inilah yang secara alamiah begitu dicita-citakan oleh kapitalisme.
Analisis di atas membawa pada kesimpulan bahwa era kapitalisme pasca-Fordis adalah menggenapi era yang mana Marx sebut sebagai the real subsumption of labor under capital, atau ketertundukan total dihadapan kapital.[9] Para buruh yang harusnya sadar justru tereksploitasi dan makin teralienasi juga “nyaman” dengan kerjanya dan kehidupannya di bawah kapital. Segala sesuatunya telah dikomodifikasi dari produk material seperti air mineral sampai produk immaterial seperti senyum saja sudah terkomodifikasi, lantas apa lagi yang tak terkomodifikasi hari ini?.[10] Ketika kita sudah mengamini asumsi ini lantas apa lagi yang membuat post fordisme tak pantas disebut sebagai “the real golden age of capitalism”?. Lengkap sudah proses evolusi kapitalisme mencapai bentuk yang sangat sempurna. Menyempurnakan kerja, menyempurnakan kapital. Semua sudah berubah menjadi kapital.
Reference:
Washington Consensus : SINS or HINTS ?
Gagasan Washington Consensus mulai populer menjelang akhir 1980-an. Washington Consensus merupakan sebuah istilah yang dikenalkan oleh pakar ekonomi John Williamson pada tahun 1989. Konsep tersebut merujuk pada 10 rekomendasi kebijakan bagi negara-negara, terutama negara berkembang dan bekas komunis, yang ingin mereformasi kebijakan ekonomi mereka. Reformasi tersebut berkaitan dengan sepuluh hal, yaitu (1) pengetatan fiskal, (2) memprioritaskan pengeluaran publik, (3) reformasi pajak, (4) Liberalisasi Keuangan, (5) Mematok nilai tukar yang kompetitif, (6) liberalisasi perdagangan, (7) mengurangi/menghapus barrier untuk foreign direct investment, (8) privatisasi BUMN, (9) melakukan deregulasi pasar, dan (10) memastikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual. Pengaruh Washington Consensus sangat besar sehingga dalam beberapa tahun saja berbagai reformasi ekonomi ala Washington Consensus diamini oleh banyak negara.
Adanya kriris utang di Amerika Latin pada tahun 1980an membuat pemerintah di negara-negara tersebut harus mencari dana pinjaman dari luar negeri. IMF dan Bank Dunia hadir memberikan solusi terhadap persoalan tersebut. Tentu saja mereka muncul dengan berbagai persyaratan yang menuntut negara pengutang untuk mereformasi kebijakan ekonominya (baca: Washington Consensus). Populernya gagasan Washington Consensus juga tidak terlepas dari perisitiwa runtuhnya Uni Soviet. Kegagalan negara pengusung ideologi komunis tersebut telah membuat negara-negara berkembang untuk memikiran gagasan alternatif dalam pengelolaan kebijakan ekonomi dan politik. Namun resep ala Washington Consensus ini tak sepenuhnya berjalan mulus, mekanisme reformasi perekonomian ala Washington Consensus justru dianggap sebagai biang kerok terjadinya krisis berkepanjangan di Amerika Latin. Hal ini senada dengan pendapat Naim Moises dalam tulisannya berjudul “Washington Consensus or Washington Confusion?”, Moises hadir untuk mempertanyakan kembali konsep Washington Consensus yang seringkali diterima seolah-olah sebagai konsensus.
Lebih lanjut diungkap Naim Moises, bukannya berperan sebagai resep yang ampuh dalam menangani krisis, Washington Consensus justru gagal ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan lokal yang lebih spesifik, seperti misalnya ketika merespon perubahan politik yang terjadi di tiap-tiap negara kawasan Amerika Latin. Moises melihat permasalahan perekonomian dunia yang diakibatkan oleh Washington Consensus melalui 5 (lima) I yakni International Economic Instability, Investment, Inequality, Institution dan Ideology. Permasalahan-permasalahan baru seperti kesenjangan dan kemisikinan justru hadir. Hal itu pun akhirnya dianggap sebagai produk ketimpangan industri dalam negeri dengan industri luar negeri. Gwynne dan Kay dalam bukunya Latin America Transformed: Globalization and Modernity juga menunjukkan fenomena sama yang terjadi di Amerika Latin. Mereka menyatakan bahwa semenjak kriris hutang melilit negara Amerika Latin ada perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi secara signifikan. Jika pada tahun 1930 hingga 1980 negara Amerika Latin sebagian besar menerapkan kebijakan ekonomi yang inward-oriented, mulai tahun 1980an mulai diterapkan ekonomi yang outward-oriented atau berbasis pada komoditas ekspor.
Hal tersebut menegaskan kecurigaan bahwa dibalik bantuan yang diberikan IMF, memang ada maksud-maksud tertentu dari negara maju. Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work dengan tegas mengusulkan untuk menghapuskan hutang-hutang di negara-negara miskin dan berkembang. Mengingat buruknya pengelolaan hutang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal suatu negara. Namun juga oleh faktor eksternal, karena pemberi hutang tidak memikirkan secara matang masa depan pengelolaan hutang yang diberikan, tetapi justru cenderung menambah beban tanpa memperhatikan aspek domestik suatu negara yang belum tentu dapat mengelola hutang dengan baik. Cita-cita dunia akan terjadinya interdependensi antar negara dengan diimplementasikannya konsep tersebut justru berbalik arah menjadi pola dependensi. Keraguan terhadap Washington Consensus pun mulai muncul dalam beberapa dekade terakhir. Di Amerika Latin, muncul ideologi alternatif yang disebut oleh media populer sebagai Pink Tide. Di Asia Timur, gagasan-gagasan developmentalisme pun muncul untuk seakan-akan menunjukkan bahwa terjadi cacat pada konsep reformasi perekonomian ala Washington Consensus.
Setelah kita melihat dan menjelaskan panjang lebar di atas nampaknya kita akan mudah untuk segera memutuskan dan menghakimi bahwa Washington Consensus-lah sang pendosa besar yang harus kita hakimi. Tetapi apakah semudah itu kita akan memutuskan sesuatu itu bersalah atau tidak bersalah? Kaum neoliberal masih tegak beranggapan bahwa rekomendasi-rekomendasinya akan membawa suatu negara menuju kemakmuran. Meski kesenjangan dan kemiskinan masih terjadi, persoalan tersebut akan teratasi seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya perekonomian negara.
Penulis melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang sebenarnya sederhana dan alamiah. Fenomena ini tak diragukan lagi hanyalah konsekuensi dari perkembangan manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu berkembang, manusia selalu ber-evolusi. Munculnya Washington Consensus adalah sekedar bentuk proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Jika kita memperhatikan dengan seksama proses perubahan tersebut dapat dibaca ketika terjadi perubahan sistem produksi ala fordisme menuju sistem produksi ala posfordisme pada tahun 70an. Tak lama berselang dunia perekonomian menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan pada sistem perdagangan global mereka yakni pada perubahan menuju perdagangan yang lebih bebas. Proses adaptasi setelahnya adalah dari sistem keuangan internasional a la Bretton Woods yang runtuh. Meskipun setiap krisis dari ketiga hal tersebut (sistem produksi, sistem perdagangan dan sistem keuangan) berbeda-beda penyebab keruntuhannya, penulis melihat bahwa hal itu hanya sekedar proses evolusi manusia menjadi lebih baik. Perubahan sistem produksi mengakibatkan pengaruh signifikan terhadap sistem perdagangan, untuk itulah sistem perdagangan harus beradaptasi. Perubahan pada sistem perdagangan menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem keuangan, untuk itulah sistem keuangan juga harus menyesuaikan.
Ketika kita melihat 10 (sepuluh) poin dalam Washington Consensus, penulis melihat tak ada masalah dalam poin-poin tersebut. Rekomendasi reformasi perekonomian ala Washington tak lain dan tak bukan adalah sebentuk proses interaksi antar negara. Washington Consensus muncul sebagai saran dan resep dari negara-negara lain sebagai bentuk kepedulian. Saran dan resep tentu saja boleh untuk dipakai atau juga tidak dipakai. Menurut penulis sesungguhnya Washington Consensus adalah justru bentuk kepedulian yang baik. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil Washington Consensus-lah yang paling rasional untuk diterapkan oleh suatu negara.
Hal ini sungguh bertolak belakang dengan pendapat-pendapat para ahli ekonomi yang menyatakan bahwa Washington Consensus justru menciptakan instabilitas perekonomian, kesenjangan sosial, kemiskinan dsb. Ketika suatu negara dilanda krisis, apa yang harus dilakukannya? Jawaban pertama dari Washington Consensus adalah pengetatan fiskal. Bagaimana hal ini bisa menjadi hal yang tidak rasional? melakukan penghematan di dalam sektor rumah tangga tentu saja sudah seharusnya secara rasional akan menjadi pilihan dari negara-negara yang dilanda krisis. Dan bagaimana bisa hal ini yang menyebabkan krisis makin menjadi-jadi? Jika kita analogikan dengan sakit, maka ketika penyakit itu dibiarkan lah seharusnya yang menyebabkan penyakit itu makin parah. Dan ketika anda sakit, apakah anda akan memutuskan untuk mengurung diri di rumah, tidak berbuat apa-apa sambil menunggu ajal tiba? Tentu itu yang tidak diharapkan oleh Washington Consensus. Washington Consensus muncul sebagai HINTS sebagai tips dan trik jalan keluar menangani krisis, karena mereka (negara maju) lah yang lebih dulu berpengalaman menangani krisis, dan mereka memberi tips dan trik kepada negara berkembang untuk menyelesaikannya. Dan semisalpun resep-resep tersebut tidak cocok untuk diterapkan kepada salah satu/beberapa negara dengan alasan kondisi perekonomian yang berbeda, lantas Apakah memberi HINTS itu salah? apakah itu dosa?. Penulis melihat bahwa negara-negara berkembang yang sedang sakit ini harus membuka pintu mereka lebar-lebar untuk mendatangkan bantuan. Karena bantuan itulah yang akan menyembuhkan mereka dari sakitnya. Poin-poin seperti Liberalisasi keuangan, perdagangan, menghapuskan barrier pada FDI dalam Washington Consensus itulah yang penulis lihat mencerminkan hal di atas.
Jika proses kepedulian itu selalu dilihat dalam kecurigaan, maka sudah barang pasti hal ini akan selalu dilihat buruk. Padahal kita tahu bersama permasalahan utamanya adalah pada faktor internal negara berkembang itu sendiri yang bisa dikatakan berada dalam perekonomian yang inefisien, tidak seimbangnya pendapatan dan pengeluaran. Inefisiensi itu pun berlanjut karena kecurigaan terhadap rekomendasi dari negara lain. Bukannya negara memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada, tetapi mereka justru menjauhkan diri/mengasingkan diri dari lingkungannya. Ketika negara berkembang tak memaksa dirinya untuk menghilangkan kecurigaan akan liberalisasi, maka akan selamanya mereka berada pada posisi inferior, selamanya pula mereka hidup terasing. Ditegaskan pula oleh Fukuyama, bahwa Liberalisme diyakini bakal menjadi satu-satunya sejarah dan masa depan yang akan dilalui oleh umat manusia. Keadaan ini adalah akhir dari transformasi dan evolusi ideologis umat manusia, sehingga dia mengatakan bahwa kondisi inilah kondisi final dari pemerintahan manusia sehingga disebut pula sebagai akhir dari sejarah (The End of History). Untuk negara berkembang saat ini hanya ada dua pilihan, Apakah mengikuti Globalisasi dan Liberalisasi ataukah memilih untuk terasing selamanya.
Referensi :
Gwynne, Robert N, and Cristobal Kay. "Latin America Transformed: Globalization and Neoliberalism" dalam Latin America Transformed: Globalization and Modernity. London: Edward Arnold, 2004.
Moises Naim, “Fads and Fashion in Economic Reforms: Washington Consensus or Washington Confusion?”, Routledge:2011.
Williamson John, "Our Agenda and Washington Consensus" dalam After the Washington Consensus, Institute for International Economics