Krisis Finansial di AS dan Eropa

Pada tahun 2008, Amerika Serikat dan dunia digoncang dengan krisis ekonomi. Krisis ini berawal dari kemacetan kredit sektor perumahan di Amerika Serikat. Meskipun krisis finansial ini mulai terjadi sejak Agustus 2007, namun akar masalah telah muncul beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 2001, The Fed (Bank Sentral AS) mengucurkan dana ke dalam ekonomi AS dan memangkas suku bunga utamanya dari 3,5 persen pada Agustus 2001 menjadi cuma 1 persen menjelang pertengahan 2003 untuk mencegah slowdown ekonomi.    Kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan oleh The Fed bertujuan untuk menggairahkan perekonomian dalam negeri. Kebijakan ini memang berhasil menggairahkan kembali perekonomian AS. Rendahnya suku bunga tersebut menciptakan permintaan yang sangat besar pada sektor perumahan. Dengan besarnya demand pada sektor ini penyalur KPR berbondong-bondong masuk ke pasar ini untuk menawarkan jasanya untuk meraih profit. Dengan meningkatnya kompetisi, penyalur KPR pun bersaing untuk mendapat konsumen bahkan dengan menawarkan produk KPR tanpa mengenal secara mendalam karakterisktik beresiko (subprime mortgage).  Namun di sisi lain, terlalu tingginya permintaan kredit pada sektor perumahan ini juga dapat menyebabkan inflasi (demand pull inflation).  
Untuk meredam dan mencegah inflasi, The Fed pun menaikkan tingkat suku bunga. Seiring dengan kenaikan tingkat suku bunga dari bank sentral untuk menghindari inflasi, tingkat suku bunga kredit bank pun ikut naik. Kenaikkan tingkat suku bunga ini menyebabkan membengkaknya pengembalian tanggungan kredit yang harus dibayar oleh penerima kredit. Kenaikan tanggungan pinjaman ini yang menyebabkan ketidakmampuan para distributor kredit perumahan untuk mengembalikan pinjaman dan diperparah dengan terjadinya gelombang gagal bayar konsumen secara massif. Pertumbuhan PDB AS begitu cepatnya mengalami kenaikan dan penurunan. Kompleksitas sistem keuangan di AS telah menciptakan ketidakstabilan yang berasal dari sistem itu sendiri, yang bisa dengan sangat cepat mendongkrak naik pertumbuhan PDB, namun juga dapat dengan cepat sekali jatuh. Siklus KPR yang tadinya menguntungkan kini hanya menyisakan kerugian. KPR mulai macet, CDO ditarik, institusi finansial kekurangan dana, dan properti pun jatuh nilainya karena over-supply. Dengan demikian siklus kebalikan pun terjadi, semakin lama semakin cepat dan besar, persis seperti bola salju (snowball effect). Inilah yang disebut dengan bubble economy, yang menyebabkan krisis subprime mortgage.
Krisis Finansial di AS dan Eropa

Krisis subprime mortgage mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan pasar. Dengan kepercayaan pasar yang menurun menyebabkan para investor ramai-ramai menarik uangnya dari bursa. Perilaku yang seperti ini sering disebut dengan risk aversion, dan hal ini pula yang menyebabkan keringnya likuiditas dalam pasar ekonomi AS. Keringnya likuiditas itulah yang berkontribusi pada macetnya perekonomian di AS. Instabilitas finansial yang terjadi di Amerika Serikat, sebagai pusat perekonomian dunia dimana banyak negara bergantung, mengakibatkan  terjadinya instabilitas finansial global. Instabilitas finansial global mengakibatkan terjadinya krisis finansial global yang ditandai dengan keringnya likuiditas dan menurunnya kepercayaan investor terhadap pasar. Padahal yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi global adalah investasi para investor.

Untuk menanggulangi krisis financial yang terjadi di AS, ada beberapa respons yang dilakukan oleh Pemerintah AS dan The Fed selaku bank sentral AS. Kalau kita melihat permasalahan utama yang terjadi sebenarnya adalah kekeringan likuiditas, maka sudah alamiah respons yang paling masuk akal dilakukan oleh mereka adalah dengan memberikan suntikan modal atau yang biasa kita kenal dengan bailout. Ketika pasar sudah mulai bergerak kembali (mendapatkan stimulus dari bailout) maka diharapkan investor kembali berinvestasi di pasar mereka. Itu fokus respons yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah AS. Tetapi untuk lebih jelasnya mari kita lihat bersama bentuk-bentuk implementasi kebijakan dari AS. Pemerintah AS dan The Fed membagi menjadi dua periode penanganan krisis tersebut, yakni Sebelum September 2008 dan Setelah September 2008. Menurut penulis respons pada sebelum September 2008 lebih cenderung ke respons kebijakan yang bersifat moneter dan setelah September 2008 lebih mengarah ke Kebijakan Fiskal. Berikut isi respons dan kebijakannya :

1.    Respons Kebijakan Sebelum September 2008
-    The Fed secara bertahap menurunkan tingkat suku  bunga dan secara bersamaan meningkatkan jumlah likuiditas yang ada di pasar.
-    Mengambil alih Bank Investasi Bear Sterns untuk menghindari dampak sistemik.
-    Menciptakan peraturan-peraturan yang bisa menanggulangi mortgage foreclosure dan menstimulus permintaan pasar.


2.    Respons Kebijakan Pasca September 2008
Dalam periode ini pemerintah AS memproduksi dua peraturan yakni The Emergency Economic Stabilization Act dan American Recovery and Reinvestment Act. 


Peran Negara dalam Krisis Finansial


Investasi pada era globalisasi saat ini sudah tidak lagi mengenal batas negara. Hal ini disebabkan oleh liberalisasi yang sudah semakin berkembang pada sektor finansial melalui bursa saham maupun perusahaan, sehingga uang dapat menyebar kemana saja melewati batas-batas negara. Permasalahan dari liberalisasi finansial ini salah satunya adalah pada sisi investor. Informasi yang semakin cepat didengar menciptakan investor dapat memiliki informasi sebagai pandangannya dalam menentukan kebijakan investasinya. Investor yang profit oriented tentu saja tidak ingin modal yang dia investasikan hilang begitu saja, secara alamiah investor mempunyai perilaku animal instinct untuk menghindari resiko sekecil apapun yang menyebabkannya rugi. Karena perekonomian dunia yang terintegrasi, dimana perusahaan-perusahaan melakukan investasi melampaui batas negara. Seperti Lehman Brothers, lembaga finansial ini memiliki induk perusahaan di AS, namun juga memiliki beberapa anak cabang di Eropa dalam rangka memperluas investasi. Sehingga ketika terdapat anak cabang bangkrut akan berpengaruh ke anak-anak cabang perusahaan lainnya. Investasi pada perusahaan-perusahaan multinasional yang tersebar di banyak negara inilah yang menyebabkan krisis berdampak sistemik melalui integrasi ekonomi dimana uang yang beredar tidak mengenal batas negara. Efek domino yang ditimbulkan dari integrasi ekonomi antar negara melalui perusahaan-perusahaan multinasional terlihat pada keringnya likuiditas dan kebangkrutan beberapa lembaga-lembaga keuangan besar di beberapa negara karena keengganan investor untuk berinvestasi akibat ketidakstabilan perekonomian yang disebabkan oleh krisis.

Di beberapa negara Eropa, beberapa perusahaan ikut terkena imbas krisis subrime mortgage karena investasi yang dilakukan di AS. Negara-negara Eropa yang terkena dampak krisis subprime mortgage ini yang terparah adalah negara-negara PIIIGS (Portugal, Ireland, Iceland, Italy, Greece and Spain). Krisis financial AS seakan menjadi pemicu meletusnya gelembung-gelembung ekonomi di negara tersebut. Salah satu negara yang terkena dampak krisis subrime mortgage cukup parah di kawasan Eropa adalah Islandia karena pertumbuhan ekonomi yang digapai selama ini disokong oleh utang luar negeri perbankan swasta yang sangat besar dan diperparah dengan mata uang krona yang terdepresiasi. Berdasarkan laporan IMF, sebelumya Islandia berada di tingkat ke-4 negara termakmur dengan GNP per kapita sekitar 60.000 dollar AS. Setelah krisis, mata uang Islandia, krona, terdepresiasi hingga 30 persen. Sementara itu bank sentral Islandia tidak mampu menjamin simpanan masyarakat disebabkan utang luar negeri perbankan swasta yang besarnya 11 kali lipat dari PDB negara itu. Untuk mengatasi dampak krisis keuangan global, Pemerintah Islandia menasionalisasi Bank Glitnir yang bangkrut. Dalam menstabilkan nilai tukar mata uang Krona yang diperdagangkan hingga 202 krona per 1 euro, pemerintah mematok kurs Krona Islandia setara dengan 131 Krona per 1 euro. Setelah otoritas moneter Islandia tidak mampu lagi menjamin aset-aset bank, Rusia memberikan suntikan dana 37 miliar dollar AS ke bank-bank besar Islandia, demikian juga Swedia ikut turun tangan memberikan suntikan dana sebesar 702 juta dollar AS.

Tetapi bukan hanya negara-negara PIIIGS saja yang terkena dampak bahkan negara-negara besar seperti Jerman, Inggris dan Perancis sekalipun terdampak Krisis Finansial AS. Sebagai contoh, Sachsen Landesbank di Jerman pun bangkrut karena ikut berinvestasi pada sektor perumahan di AS. Kemudian, Lembaga Keuangan Jerman (IKB) mengakui investasi di subrime mortgage hilang hingga USD 1 miliar. Langkah-langkah penyelamatan pun dilakukan oleh Jerman yang mengucurkan 68 miliar dollar AS untuk menopang Hypo Real Estate (perusahaan di sektor properti Jerman). Stimulus ini dilakukan oleh pemerintah agar tidak berdampak sistemik terhadap sektor-sektor lainnya di Jerman. Inggris juga merupakan negara di kawasan Eropa yang terkena kekeringan likuiditas akibat krisis subrime mortgage. Pada 2007, Inggris menasionalisasi Northern Rock karena perusahaan tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan apabila tidak diselamatkan oleh pemerintah maka dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap perekonomian Inggris. Oleh karena itu Inggris menyiapkan dana talangan sebesar 50 miliar poundsterling, yang setara engan 87 miliar dollar AS pada saat itu. Stimulus dari pemerintah ini dilakukan agar karena Nothern Rock merupakan salah satu perusahaan besar yang menyokong perekonomian Inggris, dan apabila tidak diselamatkan oleh pemerintah maka dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap perekonomian Inggris.  

Selain Jerman dan Inggris, krisis subrime mortgage juga berimbas terhadap negara-negara di kawasan Eropa yang lain seperti di Prancis, Belgia dan Luksemburg. Perancis melakukan langkah penyelamatan terhadap lembaga finansial Dexia, yang mengintegrasikan perekonomian ketiganya. Pada akhir September 2007, pemerintah Prancis, Belgia dan Luksemburg bergotong royong menyelamatkan lembaga financial Dexia, yang apabila tidak diselamatkan dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap gejolak perekonomian pada ketiga negara tersebut.

Dari kronologis di atas terlihat kondisi perekonomian global yang secara serentak mengalami penurunan kinerja ekonomi hingga mengakibatkan beberapa perusahaan bangkrut dan harus diselamatkan oleh negara. Terjadinya kekeringan likuiditas tersebut adalah akibat keengganan investor untuk menanamkan uangnya pada kondisi perekonomian yang tidak stabil. Terdapat satu kesamaan di antara negara-negara yang terkena krisis, yaitu negara harus ikut campur tangan dalam menangani krisis. Sebagaimana telah digambarkan di atas, negara-negara yang terkena dampak krisis subrime mortgage pun melakukan intervensi pasar agar krisis tidak meluas dan perekonomian dapat berjalan stabil dengan memberikan stimulus.

Referensi :
Bank Indonesia, Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia dalam “Outlook Perekonomian Indonesia 2009-2014, Eds. Januari 2009.
EFA and EC, Economic Crisis in Europe: Causes, Consequences and Responses dalam “European Economy 7”, 2009.
Marshall, John. The Financial Crisis In The US: Key Events, Causes And Responses dalam Research Paper 09/34, 2009: Library House of Commons
Taufiqurrahman, Peran Negara Dalam Mekanisme Pasar : Indonesia di Tengah Krisis Finansial Global 2008, Skripsi: 2010,  Universitas Jember.