Washington Consensus : SINS or HINTS ?

Apa yang pertama terlintas di pikiran kita ketika mendengar istilah Washington Consensus? Semoga saya tak salah menebak bahwa yang terlintas di pikiran kita pertama kali adalah Amerika dan tentu saja 10 (sepuluh) poin yang mungkin paling kontroversial dalam bidang perekonomian. Bukan saja isinya tetapi juga penamaan atas 10 (sepuluh) poin kesepakatan ini sebagai Washington Consensus juga tak luput dari kontroversi. Richard Feinberg misalnya mengkritik penamaan tersebut bahwa perekonomian tak hanya berpusat pada Washington atau Amerika saja, tetapi perbincangan dan kesepakatan ekonomi adalah perbincangan dunia. Konsensus juga tak mewakili sedikitpun tentang proses diskusi yang panjang hingga terjadinya kesepakatan (agreement), sehingga Feinberg melihat bahwa istilah consensus merupakan distorsi dari proses tersebut.  Tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur, meski kritik tersebut adalah benar, istilah tersebut sudah terlanjur dipakai dan dipahami oleh semua pihak.
Gagasan Washington Consensus mulai populer menjelang akhir 1980-an. Washington Consensus merupakan sebuah istilah yang dikenalkan oleh pakar ekonomi John Williamson pada tahun 1989. Konsep tersebut merujuk pada 10 rekomendasi kebijakan bagi negara-negara, terutama negara berkembang dan bekas komunis, yang ingin mereformasi kebijakan ekonomi mereka. Reformasi tersebut berkaitan dengan sepuluh hal, yaitu (1) pengetatan fiskal, (2) memprioritaskan pengeluaran publik, (3) reformasi pajak, (4) Liberalisasi Keuangan, (5) Mematok nilai tukar yang kompetitif, (6) liberalisasi perdagangan, (7) mengurangi/menghapus barrier untuk foreign direct investment, (8) privatisasi BUMN, (9) melakukan deregulasi pasar, dan (10) memastikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.  Pengaruh Washington Consensus sangat besar sehingga dalam beberapa tahun saja berbagai reformasi ekonomi ala Washington Consensus diamini oleh banyak negara.
Adanya kriris utang di Amerika Latin pada tahun 1980an membuat pemerintah di negara-negara tersebut harus mencari dana pinjaman dari luar negeri. IMF dan Bank Dunia hadir memberikan solusi terhadap persoalan tersebut. Tentu saja mereka muncul dengan berbagai persyaratan yang menuntut negara pengutang untuk  mereformasi kebijakan ekonominya (baca: Washington Consensus). Populernya gagasan Washington Consensus juga tidak terlepas dari perisitiwa runtuhnya Uni Soviet. Kegagalan negara pengusung ideologi komunis tersebut telah membuat negara-negara berkembang untuk memikiran gagasan alternatif dalam pengelolaan kebijakan ekonomi dan politik. Namun resep ala Washington Consensus ini tak sepenuhnya berjalan mulus, mekanisme reformasi perekonomian ala Washington Consensus justru dianggap sebagai biang kerok terjadinya krisis berkepanjangan di Amerika Latin. Hal ini senada dengan pendapat Naim Moises dalam tulisannya berjudul “Washington Consensus or Washington Confusion?”, Moises hadir untuk mempertanyakan kembali konsep Washington Consensus yang seringkali diterima seolah-olah sebagai konsensus.
Lebih lanjut diungkap Naim Moises, bukannya berperan sebagai resep yang ampuh dalam menangani krisis, Washington Consensus  justru gagal ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan lokal yang lebih spesifik, seperti misalnya ketika merespon perubahan politik yang terjadi di tiap-tiap negara kawasan Amerika Latin. Moises melihat permasalahan perekonomian dunia yang diakibatkan oleh Washington Consensus melalui 5 (lima) I yakni International Economic Instability, Investment, Inequality, Institution dan Ideology. Permasalahan-permasalahan baru seperti kesenjangan dan kemisikinan justru hadir. Hal itu pun akhirnya dianggap sebagai produk ketimpangan industri dalam negeri dengan industri luar negeri. Gwynne dan Kay dalam bukunya Latin America Transformed: Globalization and Modernity juga menunjukkan fenomena sama yang terjadi di Amerika Latin. Mereka menyatakan bahwa semenjak kriris hutang melilit negara Amerika Latin ada perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi secara signifikan. Jika pada tahun 1930 hingga 1980 negara Amerika Latin sebagian besar menerapkan kebijakan ekonomi yang inward-oriented, mulai tahun 1980an mulai diterapkan ekonomi yang outward-oriented atau berbasis pada komoditas ekspor.
Hal tersebut menegaskan kecurigaan bahwa dibalik bantuan yang diberikan IMF, memang ada maksud-maksud tertentu dari negara maju. Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work dengan tegas mengusulkan untuk menghapuskan hutang-hutang di negara-negara miskin dan berkembang. Mengingat buruknya pengelolaan hutang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal suatu negara. Namun juga oleh faktor eksternal, karena pemberi hutang tidak memikirkan secara matang masa depan pengelolaan hutang yang diberikan, tetapi justru cenderung menambah beban tanpa memperhatikan aspek domestik suatu negara yang belum tentu dapat mengelola hutang dengan baik. Cita-cita dunia akan terjadinya interdependensi antar negara dengan diimplementasikannya konsep tersebut justru berbalik arah menjadi pola dependensi. Keraguan terhadap Washington Consensus pun mulai muncul dalam beberapa dekade terakhir. Di Amerika Latin, muncul ideologi alternatif yang disebut oleh media populer sebagai Pink Tide. Di Asia Timur, gagasan-gagasan developmentalisme pun muncul untuk seakan-akan menunjukkan bahwa terjadi cacat pada konsep reformasi perekonomian ala Washington Consensus.
Setelah kita melihat dan menjelaskan panjang lebar di atas nampaknya kita akan mudah untuk segera memutuskan dan menghakimi bahwa Washington Consensus-lah sang pendosa besar yang harus kita hakimi. Tetapi apakah semudah itu kita akan memutuskan sesuatu itu bersalah atau tidak bersalah? Kaum neoliberal masih tegak beranggapan bahwa rekomendasi-rekomendasinya akan membawa suatu negara menuju kemakmuran. Meski kesenjangan dan kemiskinan masih terjadi, persoalan tersebut akan teratasi seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya perekonomian negara.
Penulis melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang sebenarnya sederhana dan alamiah. Fenomena ini tak diragukan lagi hanyalah konsekuensi dari perkembangan manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu berkembang, manusia selalu ber-evolusi. Munculnya Washington Consensus adalah sekedar bentuk proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Jika kita memperhatikan dengan seksama proses perubahan tersebut dapat dibaca ketika terjadi perubahan sistem produksi ala fordisme menuju sistem produksi ala posfordisme pada tahun 70an. Tak lama berselang dunia perekonomian menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan pada sistem perdagangan global mereka yakni pada perubahan menuju perdagangan yang lebih bebas. Proses adaptasi setelahnya adalah dari sistem keuangan internasional a la Bretton Woods yang runtuh. Meskipun setiap krisis dari ketiga hal tersebut (sistem produksi, sistem perdagangan dan sistem keuangan) berbeda-beda penyebab keruntuhannya, penulis melihat bahwa hal itu hanya sekedar proses evolusi manusia menjadi lebih baik. Perubahan sistem produksi mengakibatkan pengaruh signifikan terhadap sistem perdagangan, untuk itulah sistem perdagangan harus beradaptasi. Perubahan pada sistem perdagangan menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem keuangan, untuk itulah sistem keuangan juga harus menyesuaikan.
Ketika kita melihat 10 (sepuluh) poin dalam Washington Consensus, penulis melihat tak ada masalah dalam poin-poin tersebut. Rekomendasi reformasi perekonomian ala Washington tak lain dan tak bukan adalah sebentuk proses interaksi antar negara. Washington Consensus muncul sebagai saran dan resep dari negara-negara lain sebagai bentuk kepedulian. Saran dan resep tentu saja boleh untuk dipakai atau juga tidak dipakai. Menurut penulis sesungguhnya Washington Consensus adalah justru bentuk kepedulian yang baik. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil Washington Consensus-lah yang paling rasional untuk diterapkan oleh suatu negara.
Hal ini sungguh bertolak belakang dengan pendapat-pendapat para ahli ekonomi yang menyatakan bahwa Washington Consensus justru menciptakan instabilitas perekonomian, kesenjangan sosial, kemiskinan dsb. Ketika suatu negara dilanda krisis, apa yang harus dilakukannya? Jawaban pertama dari Washington Consensus adalah pengetatan fiskal. Bagaimana hal ini bisa menjadi hal yang tidak rasional? melakukan penghematan di dalam sektor rumah tangga tentu saja sudah seharusnya secara rasional akan menjadi pilihan dari negara-negara yang dilanda krisis. Dan bagaimana bisa hal ini yang menyebabkan krisis makin menjadi-jadi? Jika kita analogikan dengan sakit, maka ketika penyakit itu dibiarkan lah seharusnya yang menyebabkan penyakit itu makin parah. Dan ketika anda sakit, apakah anda akan memutuskan untuk mengurung diri di rumah, tidak berbuat apa-apa sambil menunggu ajal tiba? Tentu itu yang tidak diharapkan oleh Washington Consensus. Washington Consensus muncul sebagai HINTS sebagai tips dan trik jalan keluar menangani krisis, karena mereka (negara maju) lah yang lebih dulu berpengalaman menangani krisis, dan mereka memberi tips dan trik kepada negara berkembang untuk menyelesaikannya. Dan semisalpun resep-resep tersebut tidak cocok untuk diterapkan kepada salah satu/beberapa negara dengan alasan kondisi perekonomian yang berbeda, lantas Apakah memberi HINTS itu salah? apakah itu dosa?. Penulis melihat bahwa negara-negara berkembang yang sedang sakit ini harus membuka pintu mereka lebar-lebar untuk mendatangkan bantuan. Karena bantuan itulah yang akan menyembuhkan mereka dari sakitnya. Poin-poin seperti Liberalisasi keuangan, perdagangan, menghapuskan barrier pada FDI dalam Washington Consensus itulah yang penulis lihat mencerminkan hal di atas.
Jika proses kepedulian itu selalu dilihat dalam kecurigaan, maka sudah barang pasti hal ini akan selalu dilihat buruk. Padahal kita tahu bersama permasalahan utamanya adalah pada faktor internal negara berkembang itu sendiri yang bisa dikatakan berada dalam perekonomian yang inefisien, tidak seimbangnya pendapatan dan pengeluaran. Inefisiensi itu pun berlanjut karena kecurigaan terhadap rekomendasi dari negara lain. Bukannya negara memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada, tetapi mereka justru menjauhkan diri/mengasingkan diri dari lingkungannya. Ketika negara berkembang tak memaksa dirinya untuk menghilangkan kecurigaan akan liberalisasi, maka akan selamanya mereka berada pada posisi inferior, selamanya pula mereka hidup terasing. Ditegaskan pula oleh Fukuyama, bahwa Liberalisme diyakini bakal menjadi satu-satunya sejarah dan masa depan yang akan dilalui oleh umat manusia. Keadaan ini adalah akhir dari transformasi dan evolusi ideologis umat manusia, sehingga dia mengatakan bahwa kondisi inilah kondisi final dari pemerintahan manusia sehingga disebut pula sebagai akhir dari sejarah (The End of History). Untuk negara berkembang saat ini hanya ada dua pilihan, Apakah mengikuti Globalisasi dan Liberalisasi ataukah memilih untuk terasing selamanya.

Referensi :

Gwynne, Robert N, and Cristobal Kay. "Latin America Transformed: Globalization and Neoliberalism" dalam Latin America Transformed: Globalization and Modernity. London: Edward Arnold, 2004.
Moises Naim, “Fads and Fashion in Economic Reforms: Washington Consensus or Washington Confusion?”, Routledge:2011.
Williamson John, "Our Agenda and Washington Consensus" dalam After the Washington Consensus, Institute for International Economics