Post Fordism: The Real Golden Age of Capitalism

Untuk mengawali kajian tentang fordisme dan post fordisme, kita akan memulai dengan pertanyaan sederhana tentang Fordisme. Mengapa Fordisme dilabeli “Golden Age of Capitalism”?. Sebelum menjawabnya tentu saja kita harus terlebih dahulu mengerti apa itu Kapitalisme. Ciri utama kapitalisme adalah pada hubungan pertukaran (exchange relation)  dimana pasar secara sederhana didefinisikan sebagai medium pertukaran dan distribusi modal (kapital. Karena hubungan pertukaran ini sudah ada sejak jaman manusia hadir di dunia ini, maka kapitalisme dengan sendirinya telah hadir bersamanya. Itulah kenapa akhirnya kapitalisme disebut-sebut sebagai interaksi alamiah manusia. Lebih spesifik lagi, Max Weber menyatakan sejak pertukaran di pasar (market exchange) ditujukan untuk memperoleh keuntungan maka saat itulah kapitalisme telah ada.[1] Dan karena pertukaran akan terus ada sejauh manusia berinteraksi dengan sesamanya, maka kapitalisme pun demikian.

Karena agenda utama dari kapitalisme adalah pertukaran kapital secara alamiah, maka kapital dikelola sepenuhnya kepada mekanisme pasar, karena pasar lah yang paling mengerti titik keseimbangan dalam proses pertukaran tersebut. Kondisi inilah yang akhirnya sering kita sebut dengan equilibrium, yakni keseimbangan antara demand dan supply. Kemudian apa  hubungannya dengan sistem fordisme? Untuk menjelaskan hubungannya maka kita akan bersama melihat tentang bagaimana sistem fordisme bekerja.
Masyarakat fordis percaya bahwa Mass production creates Mass Consumption atau mass consumption through mass production.[2] Hal inilah yang menjadi mekanisme utama Fordisme itu sendiri. Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi?. Logikanya, dengan memproduksi barang-barang secara massal tentu saja akan mengurangi biaya produksi. Bagaimana bisa? Mereka memperkenalkan apa yang disebut dengan teknik assembly line. Teknologi ini diterapkan Ford yang terinspirasi oleh konsep Taylor yakni “time and motion”, jadi dalam mekanisme ini pekerja bisa melakukan kerja mereka dengan seefektif dan seefisien mungkin karena mereka tidak mengerjakan keseluruhan produksi, tapi memproduksi sebagian untuk keseluruhan (spesialisasi). Spesialisasi kerja inilah yang membuat kegiatan produksi makin efisien. Dengan teknik ini juga, proses produksi tidak perlu menggunakan banyak tenaga ahli, karena pekerja semi-skill pun akan bisa mengoperasikannya. Hal inilah yang disebut oleh Reinhardt sebagai Fordism as an Industrial Paradigm.[3] Dengan menurunnya jumlah ahli yang dipekerjakan tentu saja akan mengurangi pos pembiayaan pada proses produksi khususnya upah pekerja. Semakin efisien kegiatan produksi akan berimbas pada semakin berkurangnya biaya produksi. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat selling price product juga dapat ditekan, dengan harga produk yang relatif lebih murah maka daya beli masyarakat terhadap produk tersebut pun meningkat, karena hal itulah maka mass consumption pun dapat tercapai. Dengan adanya mass consumption, maka proses industrialisasi pun bisa berjalan lancar dan kapitalisasi pun berlanjut.[4] Logika berjalannya kapital dengan proses industrial yang seperti ini sebenarnya disebut Taylorism.[5]

Jika kita kaji lebih jauh, dalam sistem Fordisme peran negara sangatlah dominan. Hal inilah yang menjadi pembeda antara Taylorisme dan Fordisme. Fordisme merasa tidak cukup untuk berada pada level industrial paradigm dan regime of accumulation saja, tetapi mereka juga menyentuh pada mode of regulation dan mode of societalization. Fordisme menekankan peran penting negara sebagai alat untuk mengendalikan pasar. Negara pun akhirnya turut mengintervensi aspek-aspek mendasar seperti: sistem pengupahan, kebijakan pasar tenaga kerja dan memberikan bimbingan dalam aggregat permintaan, yang pada akhirnya membantu terjadinya keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Secara makroekonomi negara Fordisme berperan untuk menjaga agar tidak terjadi fluktuasi ekonomi yang tajam dan memastikan agar terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Untuk memastikan pertumbuhan yang stabil tersebut negara memberikan subsidi terhadap infrastuktur perekonomian misalnya, pembangunan jalan-jalan atau penyediaan sistem pendidikan yang menunjang keberadaan industri. Ketiga level sebelumnya memproduksi level keempat yakni mode of societalization atau membentuk aktor-aktor yang konsumtif dalam masyarakat yakni kelas menengah. Dengan begitu proses produksi akan mendapat jaminan berupa konsumsi dari masyarakat.

Ketika kita melihat sistem Fordisme yang seperti di atas maka saya melihat bahwa sebenarnya Fordisme tak layak untuk dilabeli sebagai “Golden Age of Capitalism”. Ada beberapa hal yang menjadi landasan berfikir untuk mengungkap hal itu. Pertama, seperti halnya kritik yang sering muncul adalah bahwa fordisme menciptakan kejenuhan pasar karena didalam pasar beredar produk yang relatif homogen. Logikanya kebutuhan konsumen sesungguhnya tak tercukupi, karena konsumen hanya punya pilihan yang relatif sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kedua, Intervensi negara yang berlebihan mengingkari hakikat kapitalisme itu sendiri yakni interaksi alamiah antara demand dan supply melalui mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi negara, maka proses demand dan supply pun tak berlangsung alamiah. Sistem perekonomian fordisme dianggap terlalu kaku dan tidak memacu terjadinya akumulasi dan akhirnya digantikan oleh Sistem Post Fordisme. Penulis berkeyakinan bahwa pada Sistem post fordisme inilah label “Golden Age of Capitalism” harusnya diberikan. Dan tentunya untuk melihat argumentasi itu kita harus melihat bagaimana sistem post fordisme bekerja.

Untuk memahami bagaimana sistem post fordisme bekerja kita akan mengacu pada kata “Flexibility” atau kelenturan. Hal yang berubah secara fundamental dalam post-fordis adalah kegiatan perekonomian lebih ditentukan oleh dorongan-permintaan (demand-driven) daripada dorongan-penawaran (supply-driven). Kompetisi dalam kegiatan ekonomi akan lebih banyak berkutat di faktor-faktor non-harga seperti perbaikan kualitas dan tampilan untuk sebuah produk individual dan sangat responsif pada konsumen. Lantas apa yang terjadi ketika proses perekonomian mengalami pergeseran orientasi yang cukup diametral yakni dari produk menuju ke konsumen. Pergeseran ini memunculkan implikasi yang besar terhadap pasar itu sendiri, pasar berubah dari membanjirnya produk yang homogen menjadi sangat heterogen untuk memenuhi pilihan konsumen. Karena pilihan konsumen pun sangat bervariasi, maka produsen pun berlomba-lomba untuk memenuhi kepuasan mereka untuk mencapai tujuan mereka yakni profit. Untuk itulah produsen saat ini bukan hanya dituntut untuk memproduksi suatu produk material, tetapi juga dituntut untuk memproduksi relasi sosial terhadap konsumennya.
“Post fordism has come to be associated with some of the structural changes to the organization of production, in particular, its social relations”. [6]

Dalam sistem Post Fordisme ini proses perekonomian berkembang pesat, salah satunya adalah meluasnya definisi kerja. Kerja seringkali didefinisikan sangat material yakni memproduksi sesuatu untuk memenuhi keperluan akan sesuatu. Namun munculnya sistem post fordisme yang lebih berorientasi pada demand mengharuskan produsen berkompetisi dengan produsen lain tidak hanya pada produk material, tetapi juga pada produk immaterial. Salah satu contoh produk immaterial adalah relasi sosial antara produsen dan konsumen. Produsen berlomba-lomba membentuk relasi sosial dengan konsumen mereka. Hal ini bisa dilihat dengan menjamurnya produk iklan dimana-mana dengan bentuk yang beraneka rupa, di televisi, radio, di jalan raya dsb. terpampang berbagai aneka ragam iklan. Iklan pun akhirnya dikategorikan sebagai produk immaterial.

Iklan, sebagai produk kerja imaterial, merupakan penciptaan relasi sosial yang diperlukan untuk memasarkan produk-produk mereka, iklan saat ini pun telah menjadi ujung tombak kesinambungan ekstraksi nilai-lebih melalui produksi.[7] Jika dilihat dari serangkaian pernyataan di atas maka penulis makin meyakinkan diri bahwa relasi sosial menjadi hal yang vital bagi keberlanjutan eksistensi kapitalisme? Jika iya, maka bukankah akan lebih penting bagi kapitalisme untuk terus memproduksi dan mereproduksi kondisi eksistensinya (conditions of existence) ini?. Bahkan kerja immaterial ini selain akan menghasilkan relasi emosional, kerja intelektual akan menghasilkan jejaring pengetahuan dan bahkan komunitas epistemik.[8] Tentu saja kita pernah atau bahkan sering melihat segerombolan komunitas pecinta produk tertentu nongkrong di pinggir jalan, di café dsb.. Misalnya, Komunitas Pecinta Vespa, Komunitas Pecinta VW, Komunitas Pecinta Honda, Toyota dst. Hal ini menunjukkan bahwa kerja afektif dari produsen sukses membentuk relasi sosial emosional dengan ikatan yang kuat pada konsumennya. Hal inilah yang akhirnya makin menegaskan bahwa relasi sosial tak akan pernah lepas dan begitu vital bagi naik atau turunnya permintaan (demand). Dengan naiknya demand maka produsen akan mengimbanginya dengan meningkatkan produksi untuk memenuhi supply. Hal inilah yang secara alamiah begitu dicita-citakan oleh kapitalisme.

Analisis di atas membawa pada kesimpulan bahwa era kapitalisme pasca-Fordis adalah menggenapi era yang mana Marx sebut sebagai the real subsumption of labor under capital, atau ketertundukan total dihadapan kapital.[9] Para buruh yang harusnya sadar justru tereksploitasi dan makin teralienasi juga “nyaman” dengan kerjanya dan kehidupannya di bawah kapital. Segala sesuatunya telah dikomodifikasi dari produk material seperti air mineral sampai produk immaterial seperti senyum saja sudah terkomodifikasi, lantas apa lagi yang tak terkomodifikasi hari ini?.[10] Ketika kita sudah mengamini asumsi ini lantas apa lagi yang membuat post fordisme  tak pantas disebut sebagai “the real golden age of capitalism”?. Lengkap sudah proses evolusi kapitalisme mencapai bentuk yang sangat sempurna. Menyempurnakan kerja, menyempurnakan kapital. Semua sudah berubah menjadi kapital.


Reference:
[1] Dikutip dari William I. Robinson, “A Theory of Global Capitalism Production, Class, and State in a Transnational World,” The John Hopkins University Press, 2004, p. 8. dalam Coen Husain Pontoh “Kelas dan Perjuangan Kelas” diakses di indoprogress.com pada 10 Oktober 2013
[2] Baca “The Evolution of Mass Production” diakses di http://www.ford.co.uk/experience-ford/Heritage/EvolutionOfMassProduction pada 15 Oktober 2013.
[3] Reinhardt, “The International Political Economy of The transition from Fordism to Post Fordism: a Critical Review”. Dikutip dalam handout mata kuliah Ekonomi Politik Global “FORDISM & POST FORDISM” oleh Poppy S.Winanti dan Riza Noer Arfani.
[4] Ibid.
[5] Baca Amsden “Global Fordism or a New Model”, “…mass production technology created unprecedented increase in output based on taylorism, which comprise two parts : the decomposition of jobs into their smallest constituent units; and top down management.” p.52
[6] Bernard, Mitchel. “Post Fordism and Global Restructuring”, p.153
[7] Hizkia Yosie Polimpung, “Kontemporalitas Idealisme Martin dan Pentingnya Menonjok Obyektivitas Secara Obyektif” dalam Resensi Buku “Materialisme Dialektis : Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer” Diakses di http://indoprogress.com/kontemporalitas-idealisme-martin-atau-bagaimana-menjadi-materialisme-dialektis-tanpa-perlu-dialektis-bagian-i/  pada 10 Oktober 2013
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid